05 Juli 2008

KARTINI dan PERJUANGAN MENENTANG FEODALISME


KARTINI dan PERJUANGAN MENENTANG FEODALISME

“Apa yang aku kerjakan, tidaklah aku pandang sebagai sesuatu yang harus, tetapi sebagai sesuatu yang kulakukan dengan sukarela untuknya. Aku mengarang, melukis, dan melakukan semuanya, karena Ayah suka akan hal itu. Aku akan bekerja keras dan berusaha sebaik-baiknya, membuat kebajikan karena semua itu menyukakan hatinya. Ayahku begitu cintanya kepadaku! Aku akan sangat lebih bersedih hati lagi, pabila hasrat paling menyala itu terpenuhi, tapi dalam pada itu kehilangan cinta Ayahku”.


Demikianlah kutipan surat yang mengisahkan dalamnya kasih sayang Kartini kepada ayahanda tercinta. Raden Ajeng Kartini, lahir pada 21 April 1879 atau tahun Jawa 28 Rabiul Akhir 1808 di kota Jepara, kota yang dahulu begitu masyhur sebagai pelabuhan terbaik kerajaan Demak, pusat pengiriman bahan makan bagi daerah Maluku, Malaka, dan Jawa Barat, sebuah tempat yang tidak akan pernah terlepas dari nama besar Kartini.

Terlahir dari seorang ayah bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibu bernama Ngasirah. R.M.A Sosroningrat adalah anak dari R.M.A Tjondronegoro, Bupati Kudus dan P.A. Hadiningrat, anak dari Bupati Demak. Sedangkan ibunya, Ngasirah hanyalah seorang wanita rakyat jelata, anak dari Mandor pabrik gula Majong, yang mendapatkan kehormatan menjadi istri seorang Bupati, walaupun bukan menjadi istri pertama. Raden Ajeng Kartini memiliki seorang kakak kandung, yaitu Drs. R.M. Sosrokartono serta beberapa orang kakak dan adik dari ibu tirinya, Raden Ayu Sosroningrat.

Kartini kecil pernah menimba ilmu di Sekolah Rendah Belanda. Bersekolah bagi bocah perempuan kecil seperti Kartini adalah sebuah pengkhianatan, sebab pada masanya bocah-bocah perempuan tidak memiliki hak untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sekolah. Ayah Kartini adalah salah seorang di antara empat orang Bupati seluruh Jawa yang pernah mendapat pendidikan Eropa. Tidak heran bila pendidikan yang pernah ayah Kartini dapatkan, memberikan Kartini kesempatan untuk belajar di sekolah, walaupun tidak dalam waktu yang lama. Sebab, betapapun majunya R.M.A Ario Sosroningrat, anak-anak perempuannya tetap terikat pada adat istiadat lama.

Bersekolah tidak selamanya memberikan kebahagiaan. Di sekolahnya, Kartini begitu sering mendapatkan diskriminasi. Hal ini terlihat manakala anak-anak dibariskan dan dipanggil seorang demi seorang menurut kulitnya, putih, setengah putih, lalu coklat. Juga kedudukan orangtuanya dalam susunan kepegawaian dan susunan sosial. Namun, tahun demi tahun, diskriminasi yang Ia alami tidak pernah menyurutkan semangat dan tekadnya untuk tetap sekolah dan belajar.

Dan masa itu telah tiba, masa di mana adat istiadat kembali berbicara. Sebagai seorang perempuan yang hidup di zaman feodal, zaman yang mengharuskan seorang perempuan hidup dalam kekangan adat dan istiadat yang begitu lekat di negaranya saat itu.

Di usia dua belas tahun, Kartini harus meninggalkan sekolah. Meninggalkan teman-teman, guru-guru, dan sekolah yang begitu Ia cintai. Melalui masa kecil yang dahulu manis memasuki masa yang kelam dan gelap. Pulang kembali ke rumah, menjalani hidup di dalam ruangan sempit yang terasa hampa dengan empat tembok tebal mengelilinginya. Tiada komunikasi dengan dunia luar, hanya menunggu datangnya seorang pria pilihan orang tuanya, yang tidak Ia kenal dan akan menikahinya kelak.

Betapapun besarnya hasrat Kartini untuk belajar, merengek kepada ayahnya agar Ia diizinkan untuk pergi ke Semarang belajar di HBS bersama abangnya. Tetap saja keinginan itu terpaksa Ia kubur dalam-dalam, karena sang ayah tidak mengizinkannya. Kehidupan yang teramat membosankan setiap hari Ia jalankan, melakukan aktifitas yang sama, lingkungan yang sama, dan orang-orang yang sama disekelilingnya. Satu-satunya yang membuat Ia bahagia adalah sahabatnya, Letsy. Walaupun terpisah jarak dan waktu antara Kartini dan Letsy, persahabatan mereka tetap diteruskan melewati surat-menyurat.

Tiada tempat pelarian, tiada yang dapat menghibur kecuali “buku” teman-temannya yang bisu dan pendiam, yang menemaninya setiap hari. Kartini suka membaca, tapi kesukaannya itu telah menjadi candu. Segala-galanya Ia baca, dengan buku Ia mampu merasuki dunia realitas yang mampu mencerdaskannya. Banyak buku bagus yang Ia baca, yang mampu membuat Ia lupa akan kehidupan membosankan dan menjengkelkan yang Ia jalani.

Di tahun 1896, Ia mendapatkan kembali kebebasannya setelah empat tahun hidup dalam kurungan. Melihat kembali dunia luar serta menjalani upacara pembebasan bersama adik-adiknya. Tapi, pembebasan itu belumlah bersifat resmi, mereka masih ditahan di rumah, lambat laun mereka sering bepergian dan hadir pada perayaan penobatan Ratu Wilhelmia tahun 1900. Akhirnya, Kartini dan saudara perempuannya kembali memperoleh kebebasan yang sesungguhnya.

Kartini adalah seorang perempuan yang memiliki kepedulian kepada rakyatnya. Ia begitu ingin mengulurkan tangannya kepada mereka yang ada dalam derita kemelaratan. Namun, kedudukannya yang tinggi dalam sistem feodal tidak mengizinkannya untuk bergaul dengan rakyat yang dianggap hina. Kehidupan Kartini yang juga menderita tidak mengikis pemikirannya akan penderitaan orang lain.

Hidup Kartini terkurung oleh sistem feodal dengan pengaruh dari Hinduisme, adanya pembagian kasta. Di mana ayah Kartini menduduki kasta Ksatria bersama dengan keluarganya. Kartini menaruh simpati yang besar kepada rakyatnya. Semua ini disebabkan oleh buku yang pernah Ia baca. Kebanyakan dari buku tersebut adalah buku-buku, majalah, dan Koran Barat. Pengetahuan dari dunia Barat bersifat demokratik artinya dapat dimiliki oleh siapa saja tanpa memandang tinggi rendah kedudukannya dalam masyarakat. Perkenalan Kartini dengan rakyat, sebagian besar didapat dari bacaan Multatuli, serta dari diskusinya dengan ayah dan pamannya.

Bagi Kartini, keadaan dunia Barat lebih baik daripada tata kehidupan Pribumi. Dalam hal ini, tata hidup Pribumi masih sangat terbelakang. Tata hidup Pribumi hanya mengenal atasan dan bawahan. Di dalam tata kehidupan feodalisme Pribumi Jawa, kehormatan manusia terletak dari kebangsawanannya, tidak peduli itu bodoh atau tidak, beradab atau tidak, kejam atau tidak. Nilai manusia tidak terletak pada kemampuan, kebiasaan, dan jasanya kepada masyarakat.

Kartini sendiri berpendapat bahwa poligami itu bukan berasal dari agama Islam, melainkan dari tata hidup feodalisme. Dahulu, seorang wanita tidak dapat menolak perintah bangsawan untuk menjadi istrinya yang ke sekian. Sejak saat itu, Kartini melawan dan memerangi tata hidup feodal.

Feodalisme sendiri merupakan tata hidup yang memecah-belah masyarakat dalam lapisan dan susunan hamba-hambanya. Selanjutya, tanggung jawab sosial yang ada hanya berasal dari bawah kepada feodal, sebaliknya kaum feodal tidak bertanggung jawab kepada bawahannya.

Kecintaan Kartini kepada rakyatnya, dibuktikan dengan kecintaannya pada seni rakyat. Kecintaan pada seni rakyat berarti kecintaan watak dan sifat rakyat. Kartini menyimpulkan bahwa pendidikan tanpa seni rakyat, berarti juga pendidikan tanpa pembentukan watak. Mendidik rakyat adalah juga mengembalikan seni rakyat itu kembali kepada rakyat dalam bentuk yang sudah diperbaiki yang tidak lain adalah perbaikan atas kekurangan pada watak dan sifat rakyatnya.

Selain memiliki kepedulian kepada rakyatnya, Kartini juga peduli akan perkembangan pendidikan bagi rakyatnya. Ia begitu bahagia ketika ada sejumlah wanita di Priangan yang mampu berbicara bahasa Belanda. Kartini juga mampu berbicara dalam bahasa Belanda. Bahasa ini pada akhirnya menjadi alat perjuangan bagi Kartini untuk melakukan kritik dan penolakan terhadap tingkah laku orang-orang Belanda dan dapat menyampaikan keinginan rakyatnya ke percaturan politik.

Bung Karno pernah menuturkan bahwa Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman pertengahan, zaman feodalisme Pribumi yang “sakitan”. Pengaruh buku bacaan Barat, menjadikan Kartini sebagai pemikir modern Indonesia. Menentang feodalisme Pribumi menuju harapannya untuk menanamkan nilai demokrasi. Rakyat adalah tujuan hidup yang Kartini perjuangkan.

Report from Bandung & Ciwidey

Sabtu kemarin gw baru aja dari Bandung nd Ciwidey wat ngurusin surat perizinan KKN. Ternyata tidak semudah yg dibayangkan. Banyak pengalaman yg g wdapet selama di sana. Mulai dari kesadaran gw betapa sulitnya birokrasi di Negara kita..GiLa aja gw mesti bolak-balik Bandung-Ciwidey yg jaraknya jauh bgd cuman wat ngurusin surat2. Berpanas-panas ria di Kota Bandung ditambah macet aja gitu!!
Semua yg gw hadapi benar2 jauh dari harapan. Sebenernya gk cuman pas di bandung aja sh. Tapi, dah dimulai dari semenjak temen gw ngurusin surat di DepDagri.
Sampe gw mesti ngebatalin tiket KA gara2 surat izin dari Depdagri yg lama beUUt....
Akhirnya gw ke Bandung brng sama adek gw. Yah...tau sndiri dy mah orgnya maLes,,apa2 mesti ngandelin gw. Yang lain jg bGitu..
Padahal gw kan pingin semua jg bisa mendapatkan pengalaman. Ya...tidak harus sama,,tapi setidaknya mereka merasakan lah,,gak cuman mikirin enaknya aja.

Sampe2 hampir aja kehabisan duit di sana,,lantaran ongkos bolak-balik yg lumayan gede. Mana nyari ATM di Ciwidey susah bEuuut. Untung ada Teteh yang baik hati.

Alhamdullillah 2 tujuan ke Bandung selesai jg,,skrg tinggal matengin program kerja wat KKN. Mudah2n pada saat pelaksanaannya semua lancar,,kalo pun ada hambatan,setidaknya hambatan yg masih dapat kita atasi. Walaupun yg namanya pengorbanan itu pasti ada!!

Emang dasar ya perempuan,,,sekali mendayung,,,,dua tiga pulau terlampaui. Ngurusin perizinan KKN di Bandung,,skalian nyambil jalan2, belanja and makan. Lumayan dah sdikit2 tau Bandung.
Ada satu yg beLum sempet gw kerjain di sana,,yaitu jalan2 di sepanjang jalan Asia Afrika, Braga,, asLi dh gw kaLo ngeliat bangunan Tua gitu,,bawaannya penGen foto2. Kerja sambil Traveling tuh ternyata sangat menyenangkan..............

Tar pas KKN gw mo ngajak anak2 maen ke daerah sna ahhh....

01 Juli 2008

maLes mLuLu nE

Kadang gw jenuh juga ya. Kenapa sh kok gw suka males2n gitu kalo mau nulis, mesti nunggu beberapa lama sampe akhirnya gw mood and baru dh gw mau nulis tentang sesuatu. Sekalinya nulis bisa banyak bgt, tapi kalo lagi gak mood,,beuuh gak ada tulisan sama sekali.
Kasian juga blog ini. Di postingnya kadang2 aja...