01 Maret 2008

Ojek SePeDa!!

Mengandalkan Hidup di Jakarta dari Ojek Sepeda


Hiruk pikuk kota Jakarta nampak terlihat di sepanjang jalan menuju stasiun Beos. Di trotoar jalan para seniman lukis mulai melakukan aktifitasnya, melukis wajah-wajah dari foto yang dipegang olehnya. Kemacetan terlihat di sepanjang lampu merah stasiun Beos. Para pedagang mulai menggelar dagangannya. Tukang ojek motor dan supir angkutan umum sedang menunggu para penumpang. Begitu juga dengan para pengemudi ojek sepeda, berdiri di sudut-sudut jalan, menunggu penumpang yang akan menggunakan jasa yang mereka tawarkan.

Di sekitar stasiun Beos, memang sedang ada pembangunan terowongan khusus pejalan kaki. Tetapi aktifitas masyarakat di pagi hari itu membuat daerah yang disebut-sebut sebagai kota tua Jakarta tersebut menjadi daerah tersibuk. Karena banyaknya pengguna kendaraan bermotor dan para pejalan kaki yang hilir mudik.

Di pinggir jalan, di depan stasiun Beos, terlihat seorang pengemudi ojek sepeda sedang menunggu penumpang. Sesekali duduk di atas pot tanaman, seraya berkata “ayo..mas..mba..ojek sepedanya”.

Tubari (23), pria asli Pemalang, Jawa Tengah, dengan menggunakan handuk yang menggantung di lehernya, ia menawarkan jasa tumpangan ojek sepeda kepada setiap orang yang melintas.
Bemodalkan keberanian, Tubari hijrah dari kampung halamannya meninggalkan orang tua dan istri tercinta hanya untuk mencari rezeki di ibukota Jakarta. “Di kampung, saya tidak bekerja jadi saya memutuskan pindah ke Jakarta untuk nyari kerja”.

Sebelum berprofesi sebagai pengojek sepeda, Tubari pernah menjadi supir bajaj. Mengikuti profesi yang juga di jalankan oleh kakaknya. Namun, tidak bertahan lama. Ia lebih memilih menjadi pengojek sepeda.

Hanya ada satu alasan mengapa ia memilih menjadi pengojek sepeda, “kalo narik bajaj justru saya lebih merugi, karena harus nyetor ke pemilik bajaj jadi, keuntungannya tidak sebanyak jika saya ngojek sepeda dan kalaupun saya bekerja menjadi tukang bangunan, risikonya justru lebih besar”.

Tubari menuturkan, “saya gak pernah merasa takut menjalani pekerjaan ini”. Menelusuri jalanan di daerah Kota tanpa rasa takut akan kendaraan-kendaraan besar yang sewaktu-waktu bisa saja menghantam sepeda kesayangannya dan bahkan menghilangkan nyawanya. Bekerja dari pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Sembilan jam bekerja mengantarkan penumpang ke tempat yang dituju dengan ojek sepeda kesayangannya. Jika lelah dan kantuk mendera, ia memilih untuk beristirahat di masjid terdekat, “tidur sebentar untuk menghilangkan lelah sebelum mulai bekerja lagi”.

Keadaan panas terik dan hujan sekalipun tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk terus mencari rezeki. Kalau hujan datang ia tetap mengojek tanpa menggunakan jas hujan, hanya menggunakan payung yang dipegang oleh penumpangnya.

Menurutnya pekerjaan menjadi ojek sepeda sangat berbeda dengan menjadi supir angkot atau bajaj, seperti yang pernah ia lakukan. Selama menjadi pengojek sepeda ia menuturkan tidak pernah sekalipun kena razia polisi dan pungutan liar. Selain itu menjadi pengojek sepeda lebih enak dan mudah karena tidak harus memiliki SIM dan STNK.

Empat tahun bekerja sebagai pengojek sepeda, Tubari sudah menyusuri daerah sekitar Kota, dengan rute terjauh yang pernah ia singgahi yaitu daerah stasiun Angke dan pelabuhan Marabaru.

Dengan penghasilan bersih Rp.30.000 per hari, yang menurutnya terkadang kurang atau bahkan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tubari mengaku tidak memiliki pekerjaan sampingan, ia mengandalkan hidup dari pekerjaannya sebagai pengojek sepeda.
“Saya sih seneng-seneng aja jadi pengojek sepeda, kalo saya kekurangan uang, kan masih ada teman-teman yang membantu saya”. Tubari tinggal di daerah Mangga Dua, bersama kakak dan beberapa temannya. Dan setiap lima belas hari ia bekerja, uang hasil dari pekerjaannya sebagai pengojek sepeda lantas ia kirimkan kepada istri dan orang tua di kampung, “sekitar Rp. 200.000 setiap lima belas hari, saya kirim untuk keluarga di kampung”.

Udin (30), salah seorang penumpang yang juga menggunakan jasa ojek sepeda menuturkan, “saya kalau belanja di daerah Mangga Dua, lebih senang naik ojek sepeda, karena lebih cepat sampai, sepertinya unik saja naik sepeda ontel di Kota Jakarta”. “Kadang saya juga sering main ke daerah kota tua, sambil mengamati bangunan-bangunan tua, melihat hiruk pikuk kawasan Kota yang selalu ramai setiap harinya, terkesan ada nilai historisnya”.

Tidak ada komentar: