01 Maret 2008

Belajar dari Film dan Sinema Korea dalam Meraup Devisa Negara

Belajar dari Film dan Sinema Korea dalam Meraup Devisa Negara
Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sinema buatan negeri Gingseng, Korea, sungguh luar biasa. Ketika salah seorang aktor Korea, Kwon Sang-woo berkunjung ke Indonesia, banyak para pecinta sinema Korea sengaja meluangkan waktunya untuk bertemu langsung dengan sang idola. Demam korean wave, demikianlah sebutan bagi mereka yang sangat tergila-gila dengan sinema Korea atau segala sesuatu yang berkaitan dengan negeri Gingseng tersebut. Demam Korean wave kini tidak hanya terjadi di Negara tempat asalnya yaitu Korea maupun negara bagian Asia Timur seperti Jepang, Cina, dll. Tetapi, sudah merajalela sampai ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia, walaupun pengaruh tersebut tidak sebesar seperti apa yang dihasilkan oleh perindustrian Hollywood.

Kalau dulu masyarakat Indonesia sempat mengenal serial Meteor Garden yang sangat fenomenal hingga mengangkat nama grup vocal F4 terkenal dan memilki banyak penggemar di Asia. Lain halnya pada akhir tahun 2005, salah satu stasiun televisi swasta Indonesia yang juga pernah menayangkan serial Meteor Garden, menayangkan sebuah serial Korea produksi MBC (Munhwa Broadcasting Company) berjudul Jewel in The Palace (Dae Jang Geum).

Serial ini mendapat sambutan baik dari penonton Indonesia. Kesuksesaan serial ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi, juga di negara asal tempat serial ini diproduksi. Serial yang bercerita tentang sosok Seo Jang Geum, tabib perempuan pertama di Korea. Dia meniti karier sebagai seorang dayang istana hingga mendapat gelar bangsawan dae (yang mulia). Jang Geum, diperankan oleh Lee Young-ae (Sympathy for Lady Vengeance, Last Present), menjadi figur perempuan yang mampu mendobrak dominasi pria yang kaku di masanya. Berlatar belakang masa kerajaan Jungjong (1506-1544), raja ke-11 dari Dinasti Chosun, serial ini kaya dengan detail dan riset. Serial ini juga menyuguhkan pusaka kuliner Korea pada masa itu. Jang Geum dikisahkan pintar menyuguhkan makanan sebagai obat untuk kerabat raja. Kombinasi gender, racikan makanan, dan obat tradisional Korea, serta intrik persengkokolan istana membuat serial ini meraup sukses.

Di Korea Selatan, serial ini mampu meraup tingkat penonton hingga 57,8 persen. Jewel in The Palace juga meraup sukses dan disukai di sejumlah negara seperti Hongkong, Taiwan, Amerika Serikat, Kanada, dll. Bahkan pada Majalah Time edisi 14 November 2005 menulis, Presiden Cina Hu Jintao juga menggemari serial ini.

Di Indonesia, sudah banyak stasiun televisi yang menayangkan serial Asia seperti Korea, Jepang, dan Taiwan. Tetapi, hanya stasiun televisi Indosiar saja yang konsisten menayangkan serial-serial Asia sampai dengan saat ini.

Mewabahnya Korean wave, bertambahnya penggemar serial Korea terutama remaja, wanita karier, dan ibu rumah tangga. Ternyata dimanfaatkan oleh beberapa rumah produksi di Indonesia untuk membuat atau lebih tepatnya meniru beberapa serial Korea yang kemudian oleh mereka dibuat dalam versi sinetronnya. Sungguh ironis memang, ketika satu rumah produksi menayangkan serial jiplakan versi Indonesianya, justru ratingnya sangat tinggi jika dibandingakn dengan acara lain. Tingginya rating inilah yang pada akhirnya membuat beberapa rumah produksi berlomba-lomba membuat sinetron hasil tiruan dari serial Korea, Jepang, dan Taiwan. Sebut saja rumah produksi yang menayangkan sinetron berjudul “Pengantin Remaja”, ternyata aslinya adalah serial Korea dengan judul “My Little Bride”. Benci Bilang Cinta (Princess Hours-Korea), Buku Harian Nayla (1 Litre of Tears-Jepang), dan masih banyak lagi. Oleh karena itu tidak heran bila ada dua judul sinetron dari rumah produksi yang berbeda, memilki kesamaan alur cerita. Hal ini bisa terjadi karena memang mereka meniru cerita dari serial Asia yang sama.

Melihat kondisi perkembangan sinema di Korea, sangat jauh berbeda dengan perkembangan sinetron di Indonesia. Di Korea, sinema menjadi salah satu komoditi ekspor yang paling banyak mendatangkan keutungan. Sepanjang Sembilan bulan pertama 2005, Korea meraup US$ 67 juta (sekitar Rp. 656 miliar) dari ekspor sinema itu. Pasar Asia menyumbangkan 80,3 persen, Eropa 15,5 persen, dan Amerika Utara 3,3 persen. Pendapatan ekspor ini meningkat dari tahun 2004, sekitar US$ 58,28 juta (sekitar Rp. 571 miliar). Pasar Asia menyumbangkan 77,80 persen, Eropa 14,1 persen, dan Amerika Utara 5 persen. Geliat sinema Korea ini mengancam industri hiburan Jepang. Beberapa pengusaha Jepang merasa gerah karena industri filmnya digerogoti film dari bekas Negara jajahannya itu.

Sebenarnya apa yang membuat serial Korea begitu digemari?. Ada alasan khusus mengapa serial Korea begitu digemari. Tidak seperti sinetron Indonesia, keunggulan serial Korea terletak pada alur cerita yang sangat kuat. Mereka mampu menyajikan cerita dengan tema yang tidak melulu soal cinta tetapi juga mengenai persahabatan, kebudayaan dan keluarga. Mereka sangat detail sekali dalam memproduksi sebuah serial drama, mulai dari hal yang terkecil pun selalu mereka perhatikan. Artinya mereka tidak sembarangan dan tidak asal-asalan dalam memproduksinya. Kebanyakan sinetron Indonesa memproduksi sinetron yang kejar tayang, dengan system syuting stripping. Ironisnya lagi kalau ternyata seinetron tersebut tidak mampu menembus rating yang diinginkan, jangan kaget jika tiba-tiba saja sinetron tersebut berhenti penayangannya. Kecenderungan yang biasa dilakukan oleh rumah produksi adalah membuat sinetron yang sedang nge-trend.

Sebelum bermunculan sinetron yang mengadaptasi serial Asia, penonton disuguhkan dengan sinetron bertema religi. Sebagai pelopor adalah “Rahasia Illahi”, karena kesuksesaan sinetron tersebut akhirnya banyak rumah produksi yang berlomba-lomba membuat sinetron dengan tema yang sama. Dari sini terlihat jelas bahwa mereka lebih mementingkan keuntungan semata daripada menyajikan suatu tayangan yang berbobot dan memiliki nilai estetika serta tidak menyudutkan pihak tertentu.

Penjiplakan yang terus menerus terjadi, akan mengakibatkan terkikisnya kreatifitas individu dalam menghasilkan sebuah karya. Kita tentu tidak ingin dicap sebagai negara Plagiator. Mau dibawa kemana masa depan bangsa ini kalau dari sinetron atau filmnya saja bukan hasil karya sendiri (tidak orisinil) dan tidak dapat mencerminkan nilai-nilai kebaikan. Seharusnya kita bisa belajar dari tayangan sinema di Negara Gingseng, bukan meniru sinema mereka tetapi meniru cara mereka yang berhasil mengembangkan industri sinema hingga terkenal di mancanegara, mendapatkan banyak penghargaan, serta apresiasi yang luar biasa dari kalangan internasional. Bahkan artis-artisnya pun mampu bersaing dan berkolaborasi dengan artis-artis Eropa dan Amerika. Lewat sinema, Korea berhasil memperkenalkan kepada dunia luar kebudayaan mereka mulai dari kuliner, bahasa, pakaian, adat istiadat, dll. Yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan industri pariwisata dan meningkatkan devisa negara mereka.

Kalau saja para pekerja industri sinema dan film kita menyadari akan hal itu, mereka tidak mementingkan segi komersialnya saja. Masyarakat para penikmat sinema dan film harusnya dapat selalu berpikir kritis dan dapat memilih mana tayangan yang bukan hanya sekedar menghibur, tetapi juga memilki nilai etika dan estetika, serta orisinil. Dan pemerintah dalam hal ini, seharusnya berperan membantu dalam segi finansial, yaitu memberikan modal kepada pembuat sinema atau film untuk menciptakan karya mereka. Dan juga membantu dalam hal penyebarluasannya baik itu melalui ajang festival sinema dan film, maupun dalam ajang pengenalan budaya Indonesia kepada mancanegara. Dengan dukungan dari berbagai pihak, bisa dipastikan Indonesia dapat meraup keuntungan besar dari industri sinema. Seperti yang terjadi di Korea dan di Amerika (Hollywood) sana.

2 komentar:

ie_chaN mengatakan...

hi

Anonim mengatakan...

yups, setuju banget ma pendapat kamu. rumah produksi di indonesia kayaknya cuma mengejar keunutngan tanpa memperhatikan kualitas. padahal klo kualitas sinetron yang diproduksi bagus pada akhirnya kan tetep berimbas ke keuntungan. Ehm, salah persepsi tujuan pembuatannya.tapi gak bisa dianggap buruk semua sih, ada juga ftv buatan negeri kita yg lumayan bagus kok dan beberapa sinetron yang dulu judulnya klo gak salah sekar, tapi tetep aja gr2 rating bagua jalan ceritanya diperpanjang dan berakhir kacau walaupun pada awalnya dah bagus